Rabu, 15 Oktober 2008

Moratorium Konversi Lahan


Moratorium Konversi Lahan

* Refleksi Hari Pangan Sedunia : Oleh Toto Subandriyo


ORGANISASI Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah menetapkan tema peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) 2008 adalah ”World Food Security: the Challenges of Climate Change and Bio-Energy”.

Untuk konteks Indonesia, di samping tantangan perubahan iklim dan bioenergi, masalah konversi lahan subur yang berlangsung sangat masif selama beberapa dekade terakhir juga menjadi tantangan yang tak kalah penting bagi ketahanan pangan nasional.

Ditinjau dari ketahanan pangan nasional, pemilikan lahan yang semakin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi terpenting bagi petani. Masifnya konversi lahan pertanian ke bukan pertanian akan berdampak secara permanen terhadap produksi pangan nasional. Tulisan ini dimaksudkan sebagai bahan refleksi pada HPS yang selalu diperingati setiap 16 Oktober.

Ketersediaan lahan produktif yang memadai di suatu negara merupakan sebuah keniscayaan bagi upaya pemenuhan kebutuhan pangan penduduknya. Indonesia yang jumlah penduduknya menempati empat besar dunia, saat ini menghadapi permasalahan serius dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Salah satu penyebabnya adalah konversi lahan pertanian produktif yang berlangsung sangat masif.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) melaporkan, hingga 2004 telah diajukan permohonan alih fungsi lahan oleh pemerintah daerah (pemda) dan pemerintah pusat seluas 3,099 juta hektare (BPN, 2007).

Jika diasumsikan produktivitas lahan terkonversi itu rata-rata empat ton/ha gabah kering giling (GKG) dan indeks panen dua kali per tahun, maka potensi produksi yang hilang sebesar 12 juta ton GKG/tahun, atau setara tujuh juta ton beras.

Di sisi lain, kebutuhan terhadap beras dituntut selalu meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Kondisinya menjadi sangat dramatis ketika program keluarga berencana (KB) berubah menjadi ”keluarga bencana” akibat gagalnya pengendalian kelahiran seiring dengan era otonomi daerah (otda).

Fenomena baby booming menjadi permasalahan serius bagi penyediaan pangan. Pada tahun ini jumlah penduduk Indonesia 220 juta jiwa, dan akan menjadi 247,5 juta jiwa pada 2015, serta 273 juta jiwa pada 2025.
Jika konsumsi beras masih tetap sebesar 139,15 kg/ kapita/ tahun, maka kebutuhan beras 2025 akan mencapai 38,85 juta ton. Artinya, harus ada tambahan produksi beras lima juta ton dari produksi sekarang ini yang besarnya 33 juta ton, atau meningkat 15%.
Kebijakan ”Myopic”
Mungkin ada baiknya kita renungkan kembali peringatan yang pernah disampaikan Bapak Revolusi Hijau, Dr Norman Bourlag. ”Pertumbuhan penduduk dewasa ini ibarat seekor makhluk dengan banyak tentakel yang menjulur dan mencoba menekan standar kehidupan manusia. Kalau masalah itu tidak teratasi, pemerintah akan tumbang, perselisihan dalam masyarakat akan berkembang menjadi revolusi”.

Menurut perhitungan matematis, untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk Indonesia diperlukan luas tanah garapan pertanian (cultivated farm lands) minimal 22 juta hektare. Saat ini Indonesia hanya mempunyai 17,04 juta hektare lahan pertanian, terdiri atas 7,8 juta hektare lahan basah dan 9,24 juta hektare lahan kering.

Rata-rata ketersediaan lahan per kapita (lands man ratio) negeri ini hanya 820 meter persegi. Angka itu sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara eksportir pangan utama dunia; misalnya Argentina seluas 9.100 meter persegi, Australia seluas 26.100 meter persegi, Brazil seluas 3.430 meter persegi, Kanada seluas 14.870 meter persegi, dan Thailand seluas 5.230 meter persegi.

Saat ini banyak pemilik sawah beranggapan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke bukan pertanian lebih menguntungkan. Hasil analisis ekonomi sewa lahan (land rent economics) oleh Nasoetion dan Winoto (1996) menunjukkan bahwa rasio land rent pengusahaan lahan untuk usaha tani padi dibandingkan dengan perumahan dan industri adalah satu berbanding 622 dan 500.

Bagi petani penggarap dan buruh tani, konversi lahan yang masif itu merupakan ”bencana”. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan menyebutkan, jika di suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, maka lahan-lahan pertanian di sekitarnya akan segera terkonversi secara progresif. Petani penggarap dan buruh tani tersebut tidak serta merta dapat beralih pekerjaan, sehingga menjadi permasalahan sosial baru.
Horizon Pendek
Konversi lahan subur yang masif itu juga merupakan dampak kebijakan pangan pemerintah yang bersifat myopic. Kebijakan tersebut memandang peran pangan dalam horizon yang pendek dan domain yang sempit; mengabaikan pentingnya kemandirian pangan karena mudahnya akses impor.

Seorang petinggi negeri ini bahkan pernah menyampaikan statemen bahwa lebih untung mendirikan pabrik daripada mempertahankan sawah. Menurutnya, konversi sawah menjadi pabrik akan menciptakan lapangan kerja 50 kali lipat.

Agar negara ini terhindar dari tragedi seperti yang diingatkan oleh Dr Norman Bourlag, mau tidak mau, suka tidak suka, pemerintah dan bangsa ini harus segera mengambil keputusan untuk melakukan moratorium (jeda) konversi lahan subur. Agar upaya besar itu membawa hasil optimal, perlu diikuti dengan pemberian insentif yang memadai bagi kepemilikan sawah.

Insentif tersebut antara lain, pertama, keringanan/ pembebasan pajak bagi para petani yang tetap mempertahankan status tanah sawah mereka untuk usaha tani. Kedua, memberikan jaminan pendapatan yang memadai terhadap usaha tani mereka. Hal itu antara lain dapat ditempuh dengan mekanisme jaminan harga pembelian pemerintah (HPP) komoditas pertanian yang lebih memadai.

Ketiga, memberikan bantuan legalisasi tanah-tanah petani berupa sertifikasi sawah. Selain untuk kepastian hukum, cara itu juga membantu petani untuk melakukan akses permodalan ke bank. Tanah-tanah yang belum bersertifikat hanya akan menjadi modal mati yang tidak dapat digunakan untuk akses kredit bank karena ketatnya prinsip kolateral.
Upaya-upaya tersebut harus diikuti dengan upaya penegakan hukum.

Undang-Undang tentang Lahan Pertanian Abadi serta produk hukum turunannya seperti peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), instruksi presiden (inpres), peraturan menteri (permen), dan peraturan pelaksanaan lainnya perlu segera dikeluarkan agar dapat digunakan sebagai payung hukum.

Bagi petani penggarap dan buruh tani, konversi lahan yang masif itu merupakan ”bencana”. Petani penggarap dan buruh tani tersebut tidak serta merta dapat beralih pekerjaan, sehingga menjadi permasalahan sosial baru.

Last but not least, perlu dibangun persepsi dan komitmen yang sama tentang moratorium konversi lahan subur bagi seluruh pemangku kepentingan. Saat ini persepsi dan komitmen para penentu kebijakan belum sepenuhnya padu.

Karena itu jangan heran jika Peraturan Daerah (Perda) tentang Izin Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT) Pertanian ke Bukan Pertanian, yang tujuannya untuk mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian, dalam praktik justru dijadikan sebagai justifikasi dalam mendulang pendapatan asli daerah (PAD). Ironis memang !(68)

–– Toto Subandriyo, kepala Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Tegal.
© 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved

Minggu, 17 Agustus 2008

Utang Negara Harus Merdeka

oleh: Kholil Misbach,Lc

Memang kekayaan dan kemiskinan selalu menyelimuti manusia, ia bagaikan baju yang kadang melekat dan kadag harus dilepas. Hutang Indonesia memang sudah banyak mengalami kekurangan itu adalah fenomena yang perlu disyukuri semua pihak.

Dalam opini di Jawapos 16 Agustus 2008 menyebutkan bahwa cicilan utang hingga kini masih menyandera anggaran negara. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009 yang dibacakan Presiden SBY kemarin, porsi pembayaran utang pokok dan bunga tercatat hampir 15 persen.

Pembayaran itu untuk utang luar negeri plus utang dalam negeri, termasuk obligasi. Fakta itu nyaris luput dari perhatian publik di tengah euforia pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari total belanja negara.

Padahal, nilainya jauh lebih besar daripada anggaran enam kementerian/departemen seandainya digabung sekaligus. Jika dibeber lebih rinci, dana untuk mencicil utang pokok tercatat Rp 59 triliun. Itu belum ditambah cicilan bunga yang mencapai Rp 110 triliun sehingga total pembayaran utang hampir Rp 170 triliun.

Bandingkan dengan anggaran untuk Departemen PU (Rp 35,7 triliun), Departemen Pertahanan (Rp 35,0 triliun), dan Polri (Rp 25,7 triliun). Pembayaran utang juga jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran Departemen Agama (Rp 20,7 triliun), Departemen Kesehatan (Rp 19,3 triliun), serta Departemen Perhubungan (Rp 16,1 triliun).

Saat ini, utang pemerintah tercatat sekitar Rp 1.300 triliun atau lebih besar daripada anggaran belanja negara pada 2009 sebesar Rp 1.222 triliun. Dari jumlah itu, porsi utang dalam bentuk obligasi, termasuk obligasi rekap yang disuntikkan ke perbankan saat krisis finansial satu dekade silam, masih sangat besar.

Merujuk catatan terkini, untuk membayar bunga obligasi rekap dibutuhkan dana sekitar Rp 35 triliun per tahun. Jumlah yang sangat besar ketika bangsa ini sedang membutuhkan anggaran melimpah.

Lebih ironis lagi, obligasi rekap terpaksa disuntikkan ke perbankan akibat digarong pemiliknya. Mereka itulah yang biasa disebut obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berkali-kali dipanggil aparat hukum.

Kini rentetan peristiwa itu menyeret sejumlah mantan petinggi bank sentral serta pejabat hukum. Saat disuntikkan ke perbankan akhir dekade 1990-an, obligasi rekap mencapai Rp 700-an triliun. Sedangkan bunganya yang dibayar per tahun hampir Rp 100 triliun.

Dana sebesar itu harus dibayar lewat pajak yang dipungut dari rakyat yang tak pernah tahu apa itu obligasi rekap atau BLBI. Dan itu tetap harus kita bayar dan juga oleh anak cucu kita.

Karena itu, perlu dicarikan solusi komprehensif agar utang yang sebagian besar merupakan warisan rezim sebelumnya itu tidak menjadi beban generasi saat ini dan mendatang. Untuk utang luar negeri, mungkin bisa dimintakan korting atau haircut kepada kreditor secara bilateral atau multilateral.

Sebab, kita tahu bahwa utang di masa lalu banyak yang tak tepat sasaran. Untuk utang dalam negeri, terutama dari obligasi rekap, pemerintah harus mengambil langkah bijak. Apalagi, kini bank-bank tersebut banyak yang berpindah tangan. Paling tidak, langkah yang diambil menguntungkan negara dan menghilangkan beban utang.

Jawapos 16 -8-08